Daftar 10 Negara  Perokok Terbesar di Dunia**
- China = 390 juta perokok atau 29% per penduduk
- India = 144 juta perokok atau 12.5% per penduduk
- Indonesia = 65 juta perokok atau 28 % per penduduk (~225 miliar batang per tahun)
- Rusia = 61 juta perokok atau 43% per penduduk
- Amerika Serikat =58 juta perokok atau 19 % per penduduk
- Jepang = 49 juta perokok atau 38% per penduduk
- Brazil = 24 juta perokok atau 12.5% per penduduk
- Bangladesh =23.3 juta perokok atau 23.5% per penduduk
- Jerman = 22.3 juta perokok atau 27%
- Turki = 21.5 juta perokok atau 30.5%
Statistik Perokok Indonesia***
Statistik Perokok dari kalangan anak-anak dan remaja
- Pria = 24.1% anak/remaja pria
- Wanita = 4.0% anak/remaja wanita
- Atau 13.5% anak/remaja Indonesia
- Pria = 63% pria dewasa
- Wanita = 4.5% wanita dewasa
- atau 34 % perokok dewasa
Jika digabungkan antara perokok kalangan  anak+remaja+dewasa, maka jumlah perokok Indonesia sekitar 27.6%.  Artinya, setiap 4 orang Indonesia, terdapat seorang perokok. Angka  persentase ini jauh lebih besar daripada Amerika saat ini yakni hanya  sekitar 19% atau hanya ada seorang perokok dari tiap 5 orang Amerika.  Perlu diketahui bahwa pada tahun 1965, jumlah perokok Amerika Serikat  adalah 42% dari penduduknya. Melalui program edukasi dan meningkatkan  kesadaran untuk hidup sehat tanpa rokok (+pelarangan iklan rokok di TV  dan radio nasional),  selama 40 tahun lebih Amerika berhasil mengurangi  jumlah perokok dari 42% hingga kurang dari 20% di tahun 2008 ini.
*** Data laporan WHO 2008 untuk Indonesia.************
Pertumbuhan  Produksi Rokok Indonesia 
Dari data WHO di atas, Indonesia dinobat  sebagai negara dengan konsumsi rokok terbesar nomor 3 setelah China dan  India dan diatas Rusia dan Amerika Serikat. Padahal dari jumlah  penduduk, Indonesia berada di posisi ke-4 yakni setelah China, India dan  Amerika Serikat. Berbeda dengan jumlah perokok Amerika yang cenderung  menurun, jumlah perokok Indonesia justru bertambah dalam 9 tahun  terakhir. Pertumbuhan rokok Indonesia pada periode 2000-2008 adalah 0.9 %  per tahun.

Namun, perlu dicatat bahwa selama  2000-2003, produksi rokok Indonesia menurun dari 213 miliar batang  (2000) menjadi 173 miliar batang (2003) atau turun 18.7%. Namun, sejak  2004 hingga 2008 pertumbuhan rokok Indonesia sangat besar dari 194  miliar [2004] menjadi 230 miliar batang [2008] atau naik 18.6% selama  kurun 5 tahun. Jadi selama pemerintah SBY-JK periode 2004-2009, industri  rokok tumbuh pesat dengan pertumbuhan rata-rata 4.6% tahun. [Baca : Industri Rokok Tumbuh Pesat].
Tidak kurang Rp 100 triliun rupiah dana  masyarakat dikeluarkan hanya untuk membeli sekitar 225 miliar batang  rokok. Dan dari pangsa pasar yang begitu besar dan subur di negeri ini,  maka perusahaan rokok menjadi salah satu sumber bisnis bagi para  milionaire yang masuk 40 orang terkaya Indonesia 2009 seperti Rudy   Hartono (Djarum), Putera Sampoerna (Philip Morris <– PT HM Sampoerna)  dan Rachman Halim (Gudang Garam).
Hari Bebas [dari]  Rokok Se-Dunia : 31 MeiDi setiap kemasan rokok, kita pernah  membaca peringatan keras akan dampak merokok yakni “Merokok dapat menyebabkan Kanker, serangan Jantung,  Impotensi dan gangguan Kehamilan dan Janin“.  WHO pun  mengingatkan bahwa rokok merupakan salah satu pembunuh paling berbahaya  di dunia. Pada tahun 2008, lebiih 5 juta orang  mati karena penyakit  yang disebabkan rokok. Ini berarti setiap 1 menit tidak kurang 9 orang  meninggal akibat racun pada rokok. Angka kematian oleh rokok ini jauh  lebih besar dari total kematian manusia akibat HIV/AIDS, + tubercolis +  malaria + flu burung.
Dalam hal ini, tindakan merokok  merupakan tindakan merusak kesehatan sendiri, begitu juga tabungan dan  penghasilan kita. Menghirup racun rokok secara kontinyu, tidaklah jauh  berbeda dengan menghirup bakteri-bakteri penyakit. Ekstimnya, tindakan  merokok hampir serupa dengan menghirup flu babi, yakni “mencari penyakit yang akan membawa  kematian lebih tragis“. Dan jika tidak ada pencegahan yang  serius dalam menghambat pertumbuhan rokok, maka setidaknya 8 juta orang  akan meninggal akibat rokok pada tahun 2030. Dan abad 21 ini,  akan ada 1  miliar orang meninggal akibat penyakit disebabkan rokok andai saja  tidak ada usaha mencegah pertumbuhan rokok.
**************
 a a
- World No Tobacco Day 2009 Theme : “Tobacco Health Warnings”
Masyarakat miskin merupakan kelas yang  mengalami dampak yang paling besar dari Industri rokok. Sudah menjadi  rahasia umum bahwa tujuan dari bisnis industri rokok adalah membuat  konsumen menjadi tercandu dan pada akhirnya menjadi perokok aktif.  Segmen konsumen yang paling merasakan kerugian dari “kecanduan rokok”  adalah kalangan masyarakat miskin. Dari catatan WHO, jumlah terbesar  perokok berada di negara-negara miskin berkembang.
Bagi perokok ekonomi lemah (miskin),  menjadi perokok berarti ia harus mengeluarkan uang yang harusnya  digunakan kebutuhan dasar seperti makanan bergizi, pendidikan, pakaian,  kesehatan, atau tabungan ke pengeluaran sia-sia hanya untuk membakar  batang demi batang rokok.
Abdillah Ahsan,  peneliti di Lembaga Demografi FE-UI mengatakan bahwa merokok bagi  masyarakat ekonomi lemah merupakan masalah yang cukup serius bagi  kesehatan, kultur dan biaya pendidikan. “Semisal, seorang kepala  keluarga mengonsumsi rokok satu pak seharga Rp5 ribu per hari. Padahal,  uang yang terbakar melalui rokok tersebut bisa dibelikan tiga butir  telur yang mengandung banyak gizi untuk makan seluruh anaknya,” [kesehatan & gizi]. “Saya pernah menemukan  kesaksian ada seorang sopir berpenghasilan Rp50 ribu sehari dengan empat  anak yang kedua anaknya tidak sekolah dengan alasan biaya. Anehnya,  sopir tersebut mampu menghabiskan uang Rp24 ribu per hari untuk membeli  tiga pak rokok,” [biaya  pendidikan]
Dalam kasus diatas (kasus perokok yang  umum terjadi di negeri kita), jika kita melihat secara mendalam, maka  rokok tidak jauh berbeda dengan candu atau esktrimnya adalah narkoba.  Demi rokok, seorang rela mengurangi jatah makanan yang bergizi bagi  anak-anaknya. Bahkan ia menghabiskan uang rokok yang jauh lebih besar  daripada biaya pendidikan anaknya.
Katakan  Tidak pada Rokok bagi Anak-Anak & Remaja
Perokok dari ekonomi miskin Bangladesh menghabiskan uang 10 kali lebih banyak daripada biaya pendidikan anaknya. Perokok dari ekonomi miskin Indonesia menghabiskan 15% penghasilannya untuk rokok. 20% penduduk miskin Meksiko menghabiskan 11% penghasilannya untuk rokok. [WHO 2008]
Sesungguhnya, dampak negatif Industri  rokok sangat dirasakan oleh masyarakat miskin daripada orang kaya. Orang  miskin akan jauh lebih rentan terserang penyakit [oleh rokok] daripada  orang kaya. Dan secara tidak sadar, rokok merupakan salah satu faktor “jeratan setan kemiskinan”  di masyarakat kita. Orang miskin (penghasilan keluarga < 1 juta  per bulan) harus menghabiskan porsi yang besar penghasilannya untuk  membeli rokok. Tidak sedikit mereka bahkan menghabiskan 1/4 penghasilan  hanya untuk membeli 1-2 bungkus roko per hari (atau Rp 240.000 hingga  Rp 480.000 per bulan).
Bagi si perokok (misalnya kepala  keluarga), merokok akan mengakibatkan penyakit yang berbahaya. Dan  bagi keluarga si perokok, gaji/penghasilan yang harusnya dapat digunakan  untuk memberi gizi yang cukup serta investasi untuk pendidikan harus  dipotong karena rokok.  Dan jika kepala keluarga yang kecanduan merokok  relatif tinggi, maka pada usia yang masih relatif muda (35-45 tahun), ia  mulai sakit-sakitan atau bisa jadi kena kanker. Ketika sakit, maka ia  akan kesulitan bekerja. Penghasilan akan turun, dan sumber keuangan  keluarga akan bermasalah. Anak-anaknya yang sedang sekolah atau  melanjutkan studi akan kesulitan biaya. Si keluarga harus mengeluarkan  biaya  ekstra untuk pengobatan si suami (kepala keluarga). Dengan  kondisi seperti ini, maka sangat mungkin si anak tidak bisa melanjutkan  studi.
Dengan modal pendidikan rendah serta  asupan gizi rendah (kecerdasan lebih rendah), maka si anak akan  mengalami nasib yang hampir serupa dengan si orang tuanya. Tanpa contoh  dari orang tua, proteksi dari lingkungan, himbauan dari pemerintah,  larangan iklan rokok di TV, maka sangat mungkin si anak ikut terjerumus  oleh rokok. Sebagian penghasilannya juga akan digunakan untuk merokok  sejak dini. Dan habit ini akan terus diwarisi hingga ke anak, cucu dan  seterusnya. Selain berdampak pada keluarga, si perokok (suami yang sudah  sakit) secara tidak langsung akan menjadi beban pemerintah, beban  negara. Setidak-tidaknya, orang miskin harus mendapat  perawatan/pengobatan subsidi dari negara.  Kas negara akan tersedot  untuk biaya pengobatan para perokok yang sakit, untuk biaya mencipta  lapangan kerja serta biaya sosial keluarga si orang tua ini (perokok).
******
Dari tulisan diatas, saya mengajak kita semua agar melakukan tindakan proteksi bagi generasi muda agar tidak terjerumus pada kecanduan rokok. Sedangkan bagi rekan-rekan, bapak/ibu yang telah menjadi perokok aktif, maka sebaiknya tidak merokok di tempat-tempat tertutup dimana orang-orang lain (yang tidak merokok) berkumpul. Silahkan tetap merokok ditempat yang pantas dan alangkah baiknya jika Saudara dapat mengurangi frekuensi merokok demi kebaikan Anda, orang tua, istri, anak dan orang sekitar Anda.
Dari tulisan diatas, saya mengajak kita semua agar melakukan tindakan proteksi bagi generasi muda agar tidak terjerumus pada kecanduan rokok. Sedangkan bagi rekan-rekan, bapak/ibu yang telah menjadi perokok aktif, maka sebaiknya tidak merokok di tempat-tempat tertutup dimana orang-orang lain (yang tidak merokok) berkumpul. Silahkan tetap merokok ditempat yang pantas dan alangkah baiknya jika Saudara dapat mengurangi frekuensi merokok demi kebaikan Anda, orang tua, istri, anak dan orang sekitar Anda.
Pemerintah harus mengutamakan  kepentingan jangka panjang akan bahaya dan efek besar dari rokok, tidak  hanya mengejar setoran pajak/cukai dari rokok/tembakau. Pemerintah  semestinya melarang iklan rokok di TV, Radio dan Koran Nasional. Begitu  juga tidak ada lagi iklan-iklan rokok dalam bentuk spanduk yang  menghiasi jalan-jalanan.  Sebaliknya, perusahaan rokok diwajibkan  mengeluarkan 2.5-10% laba kotor untuk kegiatan CSR dibidang kesehatan  dan pengembangan ekonomi masyarakat non-rokok.  Disamping itu,  pemerintah harus menaikkan pajak rokok dan secara bersamaan merencanakan  pengalihan lahan pertanian tembakau menjadi pertanian pangan/energi  lainnya. Secara bertahap, dengan etikad bersama, kita mampu kurangi  jumlah perokok di Indonesia.  Kita mampu menekan jumlah asap beracun  yang tersebar baik di rumah, kantor, pasar, pelabuhan, terminal bahkan  di tempat ibadah.  Dengan tidak merokok, dana triliunan rupiah dapat  dialihkan untuk pembangunan investasi UKM tepat guna. Dan dengan  perencanaan jangka panjang, maka beberapa pabrik rokok dapat ditutup  setelah 30-50 tahun mendatang tanpa menimbulkan dampak ekonomi secara  signifikan. Mari lakukan perencanaan jangka panjang untuk  penutupan pabrik rokok sejak dini demi masa depan bangsa. [Baca  ulasan penutupan rokok ini : Mitos Industri Rokok Sangat Penting Bagi Negara ].












 
 
 
0 komentar:
Posting Komentar